Minggu, 08 November 2009

HUTAN SEKUNDER


Hutan sekunder yang muncul setelah dibukanya hutan alam untuk kegiatan peternakan dan pertanian merupakan fokus utama kegiatan penelitian CIFOR. Hal ini disebabkan oleh adanya bukti-bukti yang menyatakan bahwa hutan tersebut mampu mengantisipasi hilangnya hutan primer. Studi menunjukan bahwa hutan sekunder dapat dikelola untuk menyediakan berbagai produk yang biasanya didapat para petani kecil secara tradisionil dari hutan primer, disamping memberikan manfaat lingkungan seperti halnya hutan primer. Hasil temuan ini mendorong peneliti untuk melakukan intervensi teknologi dan kebijakan dalam rangka menambah nilai hutan sekunder bagi para petani, dengan demikian mereka tergugah untuk tetap mempertahankan luasan kawasan hutan sekunder dan memperlambat proses perubahan kembali (re-conversion) lahan untuk penggunaan lainnya.

Sebagian besar penelitian di bidang ini dikerjakan di beberapa negara di Amerika Selatan, dibawah pengarahan Dr. Joyotee Smith dan Cesar Sabogal. Luasan hutan sekunder di Amerika Latin ini mencakup sekitar 165 juta hektar. Kegiatan ini dibiayai oleh Inter American Development Bank dan Spanish Agency for International Cooperation dan termasuk sebagian besar keterlibatan Tropical Agricultural Center for Research and Higher Education (CATIE).

Pada tahun 1998, salah satu hasil kegiatan program di Amazonian Peru ini melaporkan tentang temuannya yang sangat kontras dengan skenario deforestasi di negara tropis yang umumnya berkesan suram. Hasil studi menunjukan bahwa keberadaan sejumlah besar hutan sekunder di daerah ini sudah ada bahkan sejak beberapa dasawarsa setelah dimulainya pemukiman penduduk. Implikasi ini sangat penting karena diperkirakan bahwa deforestasi yang berkaitan dengan praktek pertanian yang menganut pola tebang bakar (slash and burn) mungkin jauh lebih kecil dibanding dengan apa yang diyakini orang pada umumnya.

Para peneliti menemukan bahwa permudaan hutan sekunder pada lahan yang dibuka sebelumnya merupakan upaya untuk mengurangi pengaruh hilangnya hutan primer yang tersisa. Dengan berkembangnya hutan sekunder ini, maka lebih dari 1/3 lahan pertanian di kawasan studi tetap ditutupi oleh hutan setelah 3 atau 4 dasawarsa berkembangnya daerah perbatasan.

Kegiatan penelitian ini serta penelitian terkait lainnya di Brasil dan Nikaragua merupakan bagian dari upaya lebih luas untuk memahami dinamika hutan sekunder, yaitu bagaimana perubahan peran hutan sekunder seiring dengan berkembangnya daerah perbatasan pemukiman penduduk. Lokasi studi di tiga negara tersebut dipilih untuk mewakili beberapa tahapan perkembangan daerah perbatasan yang berbeda, dimana penelitian tentang sosial ekonomi dan biofisiknya saat ini masih berjalan. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model bio-ekonomi untuk menganalisa sampai sejauh mana perubahan yang terjadi di berbagai faktor dapat mempengaruhi kemampuan perolehan keuntungan para petani kecil pengelola hutan dan berbagai pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan lahan.

Gagasan lain dalam program penelitian ini termasuk kajian untuk mengevaluasi penggunaan intervensi silvikultur dalam rangka meningkatkan produktifitas jenis-jenis kayu di hutan sekunder yang masih muda. Menyusul pilot studi di Costa Rica, percobaan yang sama juga dilakukan di Peru dan Nikaragua. CIFOR juga berupaya untuk mengkompilasikan sebuah buku yang dapat memberikan gambaran perbandingan antara logged over forest (hutan bekas tebangan) dengan second-growth forest (tegakan hutan sekunder) di tiga buah kawasan dunia serta kajian berbagai aspek yang berkaitan dengan pengelolaannya secara lestari.

KEGIATAN PENANAMAN DAN REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI


Hutan tanaman, terutama pada lahan terdegradasi atau lahan berpotensi rendah, merupakan sasaran utama penelitian CIFOR. Hal ini disebabkan pentingnya pemenuhan kebutuhan dunia akan papan, pulp, dan produk kayu lainnya. Sebagian besar kegiatan tersebut termasuk pula upaya optimalisasi produksi hutan tanaman.

Tantangan terbesar bagi rimbawan, ilmuwan serta industri adalah untuk mengembangkan hutan tanaman yang mampu secara ekonomi dan lestari secara biologi. Hal seperti ini sudah dilaksanakan di beberapa negara industri. Meskipun demikian, istilah hutan tanaman masih relatif baru di banyak negara tropis dan masih sedikit sekali yang diketahui tentang kondisi serta permasalahan lokal yang membatasi hasil/produksi seperti buruknya kualitas air serta tingkat unsur hara di dalam tanah, erosi, variasi cadangan genetik, dan penyiapan lahan yang kurang layak.

Dibawah pengarahan Dr. Chistian Cossalter, ahli di bidang reforestasi lahan marjinal, CIFOR melakukan beberapa kajian di seluruh dunia yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dalam rangka perbaikan kesuburan tanah dan peningkatan produktifitas tanaman dalam jangka panjang. Percobaan lapangan terus dilakukan pada 16 plot pengamatan di 7 negara yaitu Australia, Brasil, Cina, Kongo, India, Indonesia, dan Afrika Selatan dalam bentuk sebuah proyek yang bertujuan untuk menentukan metode yang paling tepat dalam melakukan pemanenan di negara-negara tropis dengan berbagai kondisi ekologis yang sangat berbeda. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat membantu para manager lapangan untuk memilih strategi pengelolaan yang paling tepat dalam rangka memperbaiki masalah produktifitas tiap-tiap lahan, demikian pula untuk permasalahan hutan tanaman pada umumnya.

Diantara lahan yang sedang dikaji adalah hutan tanaman Eucalyptus (low-performing) yang berasal dari India dan Cina. Hutan tanaman Eucalyptus merupakan salah satu sumber utama bahan baku kayu dan pulp untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun internasional. Tetapi hasil yang diperoleh dari lahan-lahan percobaan di India maupun di Cina untuk jenis ini masih jauh di bawah rata-rata. Saat ini para peneliti berupaya untuk melakukan berbagai uji perlakuan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Sementara itu, percobaan serupa yang mulai dilakukan pada tahun 1998 ini dapat dijadikan dasar penelitian dalam mengembangkan Kriteria dan Indikator yang sesuai bagi pengelolaan hutan tanaman di dalam rangka pemeliharaan maupun peningkatan produktifitasnya. Saat ini juga dikembangkan suatu alat yang dapat membantu upaya tersebut yaitu berupa sebuah pendekatan yang menggunakan kombinasi GIS dan multi agent system (MAS). Kesemuanya ini diharapkan dapat membantu para manager hutan dalam membangun model spasial hutan tanaman untuk mengetahui adanya interaksi antara tanaman dengan sumber daya alam ataupun sumber-sumber lainnya sehingga dapat mendukung upaya pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan bentang alam.

Meskipun kawasan hutan tanaman sudah dideliniasi dengan jelas, namun tetap merupakan bagian dari suatu bentang alam yang luas. Selanjutnya muncul beberapa pertanyaan penting tentang pengaruh hutan tanaman ini terhadap ekosistem secara lebih luas. Seperti contohnya, apakah hutan tanaman yang berbentuk agroforestry dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati?. Apakah hutan tanaman yang lokasinya dekat dengan kawasan perlindungan dapat mengancam flora dan fauna asli melalui kemungkinan proses introduksi jenis generalis atau eksotik? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini CIFOR berupaya untuk memperluas lingkup kegiatan hutan tanaman.

Rehabilitasi lahan hutan terdegradasi sesungguhnya mempunyai potensi nilai komersial disamping manfaat penting lainnya bagi lingkungan hidup. Proses permudaan perlu memperhatikan permasalahan seperti hilangnya kesuburan tanah, dampak erosi dan gangguan terhadap keseimbangan hidrologi serta fungsi-fungsi ekologis lainnya. Upaya pemecahannya meliputi berbagai macam praktek seperti mempercepat proses permudaan alam, tanaman perkayaan, pergantian siklus rotasi, budidaya jenis-jenis cepat tumbuh, penggunaan cadangan genetik unggul, mengurangi dampak pembalakan dan pembangunan tegakan campuran menggunakan jenis-jenis cepat tumbuh dan jenis tanaman yang tahan hidup dibawah naungan (shade-tolerant).

Penelitian CIFOR tentang lahan terdegradasi ini meliputi berbagai tipe hutan.yang tersebar di seluruh dunia. Jepang merupakan negara donor utama dalam program yang dikoordinasi oleh Dr. Shigeo Kobayashi. Salah satu fokus penelitiannya adalah teknik silvikultur dalam rangka memperbaiki lahan hutan yang terdegadrasi. Salah satu contoh kegiatannya adalah kerjasama penelitian dengan Universitas Kasetsat di Thailand tentang evaluasi dampak ekologis tebang pembebasan tegakan jati, pada berbagai intensitas dan pola yang berbeda, dan dampak intercropping dengan tanaman seperti kopi. Pada tahun 1998 juga telah dilakukan percobaan terhadap tegakan Eucalyptus berumur 7 tahun milik sebuah pabrik kertas di negara bagian Sao Paulo, Brasil. Kajian yang direncanakan bekerjasama dengan EMBRAPA/CNPF Brasil ini akan melakukan evaluasi tentang bagaimana dampak pemadatan tanah yang disebabkan oleh metode pemanenan dan pengolahan tanah dapat mempengaruhi produktifitas lahan. Diharapkan bahwa hasil temuan akan memberikan implikasi yang luas, karena hampir 40% dari seluruh tegakan pohon di Brasil merupakan hutan Eucalyptus, dan di negara bagian Sao Paulo sendiri meliputi 1 juta hektar.

Dalam salah satu kerjasama utamanya dengan China, ilmuwan CIFOR menjajaki pendekatan sosial ekonomi yang dapat mendukung upaya menyeluruh dalam rangka mengembalikan fungsi lahan terdegradasi. Lebih dari 60% dari total luas kawasan lahan di Cina berupa lahan terdegradasi yang berada di kawasan lembah dan pegunungan. Untuk itu sangat diperlukan upaya untuk mendorong pemanfaatan lahan agar produktif, terutama oleh petani skala kecil. Salah satu solusi yang banyak disukai dan dipilih adalah kegiatan penanaman pohon, meskipun masih harus dipikirkan tentang masalah kelangsungan dan kelestarian kegiatannya. Chinese Academy of Forestry telah berhasil menemukan beberapa teknologi pemecahannya, tetapi masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana untuk menerapkan teknologi tersebut dalam skala luas serta metoda penerapan yang sesuai dengan kondisi lahan.

Hal kurang menguntungkan yang sering muncul dan selalu menjadi kendala bagi penelitian kehutanan baik Cina maupun negara lainnya adalah buruknya kualitas data. Informasi yang tersedia tentang sumber daya hutan mungkin tidak konsisten dan kualitasnya tidak seragam, dan metode yang umumnya digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan tersebut dapat memberikan interpretasi yang kurang akurat. Pada tahun 1998, ilmuwan CIFOR menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga di Cina dan Indonesia untuk memperbaiki sistem pengumpulan data kehutanan dalam rangka kemudahan dan kelayakan analisis. Setelah tinjauan data statistik pada badan kehutanan di kedua negara tersebut selesai dilaksanakan, selanjutnya mereka melakukan analisa dan sintesa terhadap seluruh hasil yang diperoleh serta merumuskannya dalam suatu rekomendasi yang dipersiapkan untuk workshop yang akan diselenggarakan di Beijing pada bulan Mei 1999.

PENYEBAB UTAMA DEFORESTASI


Banyak penyebab deforestasi secara fisik berhasil ditemukan dan dijadikan fokus bagi banyak penelitian yang bertujuan meminimasi kerusakan ekologis. Tetapi tidak semua penyebab degradasi dan hilangnya hutan dinyatakan secara langsung dan jelas; proses sosial serta kebijakan ekonomi juga mempunyai peranan penting. Upaya menyelesaikan berbagai faktor penyebab dan kaitan hubungan berbagai proses tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi hutan dan penduduknya merupakan tantangan bagi para peneliti.

Kajian yang dilakukan CIFOR memberikan gambaran penting terhadap dampak pengaruh ekstra-sektoral seperti kebijakan ekonomi (khususnya program penyesuaian struktural) dan kemajuan teknologi di bidang pertanian dan sistem desentralisasi. Kebanyakan dari kegiatan ini terpusat di sekitar studi perbandingan perubahan makro ekonomi yang terjadi di Bolivia, Kamerun dan Indonesia. Penelitian serupa lainnya juga dilakukan di Afrika bagian Timur dan Selatan dan di Amerika Tengah.

Penulis juga mengulas metodologi serta hasil lebih dari 140 penelitian ekonomi deforestasi hutan. Mereka menyatakan bahwa banyak hasil temuan yang sebaiknya dipandang secara skeptis disebabkan buruknya kualitas data serta lemahnya rancangan studi. Akhir-akhir ini model ekonomi kuantitatif deforestasi menjadi sangat populer. Meskipun beberapa kajian di bidang ini menawarkan suatu gagasan pemikiran yang bermanfaat, dilain pihak penulis bahkan kurang sependapat karena pada umumnya pendekatan yang digunakan seperti model regresi nasional dan multi-negara manfaatnya terbatas. Mereka merekomendasikan suatu perubahan kearah kajian pada tingkat daerah dan penduduk/keluarga, yang mampu untuk lebih jauh menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak yang terkait langsung dalam pembukaan dan pemanfaatan hutan.

Kegiatan lainnya yang berupaya untuk merombak atau melawan arus melalui proram penelitian ini adalah menangkal pandangan umum tentang intensifikasi pertanian serta dampaknya terhadap hutan. Paradigma konvensional yang ada saat ini adalah meningkatnya produktifitas pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan sehingga mendukung upaya-upaya konservasinya. Tetapi peneliti CIFOR dalam hal ini banyak menemukan berbagai contoh dimana temuan baru di sektor pertanian bahkan menciptakan kesempatan baru bagi petani untuk membuka lahan lebih cepat dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian ini memberikan kesan bahwa penerapan teknologi padat modal (capital-intensive) yang cocok dengan kondisi kawasan lahan pertanian serta kegiatan produksi untuk keperluan ekspor cenderung akan meningkatkan konversi lahan hutan.

Karena program penyesuaian struktural mempunyai dampak yang besar terhadap hutan dan penduduk didalamnya maka CIFOR berusaha untuk menyelidiki pengaruh dari program-program tersebut serta membuat analisa kelayakan dari strategi alternatif yang ditawarkan. Hanya beberapa tahun yang lalu, penduduk miskin dan praktek perladangan/pertanian berpindah dipandang sebagai penyebab utama yang mendorong proses deforestasi. Tetapi bukti-bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa faktor-faktor komersial dan perubahan makro ekonomi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar.

Studi perbandingan yang dilakukan di Indonesia, Kamerun dan Bolivia menunjukkan bagaimana krisis ekonomi nasional serta kebijakan makroekonomi pemerintahan dapat mempengaruhi pola matapencaharian penduduk dan pemanfaatan hutan setempat. Dengan jalan mengkombinasikan metoda ilmu sosial dan data penginderaan jarak jauh di berbagai kasus, para peneliti mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan utama seperti, apa yang mempengaruhi keputusan untuk bertani pada tingkat keluarga dan bagaimana hubungannya dengan pembukaan hutan.

Pada tahun 1998, Dr. David Kaimowitz dan Arilds Angelsen menerbitkan Economic Models of Tropical Deforstation: A Review, yang banyak menarik perhatian diantara para peneliti dan para pengambil kebijakan karena kesimpulannya yang dianggap provokatif. Disarikan dalam sebuah jurnal utama World Bank, tulisan ini meragukan banyak hipotesa konvensional tentang penyebab deforestasi.

Pada tahun 1998, para peneliti melakukan analisa terhadap hasil survey yang dilakukan di Kamerun untuk menentukan sejauh mana perubahan harga pasar dan devaluasi mata uang yang terjadi secara besar-besaran setelah adanya krisis ekonomi pada tahun 1980-an dapat mempengaruhi jenis-jenis tanaman yang ditanam oleh penduduk serta jumlah lahan yang dimanfaatkan. Salah satu temuan penting menyatakan bahwa pada saat harga pasar dunia jatuh, petani berskala kecil beralih kegiatan dari produksi ekspor misalnya coklat ke pertanian menetap, dan hal ini dilakukan dengan jalan membuka lebih banyak lahan hutan daripada memanfaatkan lahan yang sebelumnya sudah dibuka untuk pertanian. (Mereka tetap membiarkan lahan garapan tanaman ekspornya dengan harapan suatu saat harganya akan kembali tinggi). Proyek yang dikerjakan bekerjasama dengan Department of Overseas Development, United Kingdom ini juga menyelidiki berbagai aspek pengaruh kebijakan makro-ekonomi serta pengaruh berlakunya peraturan kehutanan yang baru di Kamerun.

Kecenderungan pola desentralisasi yang berlaku di beberapa negara tropis merupakan faktor ekstra-sektoral lainnya yang mempengaruhi bagaimana dan oleh siapa sumber-sumberdaya hutan dikelola. CIFOR beserta mitranya termasuk Center for Research on Labor and Agrarian Development (CEDLA) dan Bolivian Sustainable Forest Management Project (BOLFOR) melangsungkan kegiatan penelitian dalam rangka menentukan apakah desentralisasi pada akhirnya akan menguntungkan hutan dengan jalan merubah kembali sejarah sistem pengawasan yang dilakukan oleh penguasa yang cenderung meningkatkan pembukaan hutan dan degradasi lahan di dataran rendah Bolivia.

Temuan tahap awal menunjukkan bahwa sistim desentralisasi di Bolivia membawa manfaat bagi banyak penduduk miskin pedesaan di kawasan yang masih berhutan, termasuk meningkatnya akses terhadap sumberdaya hutan, terbatasnya perambahan hutan oleh perusahaan kayu besar dan peternak, serta banyaknya suara yang dapat ditampung dalam pembuatan keputusan. Meskipun demikian, ada beberapa hambatan utama yang dapat mengurangi nilai pemanfaatan serta pengelolaannya secara lestari, termasuk lemahnya kemampuan teknis lokal, terbatasnya dukungan nasional serta masalah-masalah ke-organisasian yang muncul diantara penebang kayu skala-kecil.

WANARISET BULUNGAN: Lokasi penelitian dan pengembangan model hutan


Dengan diangkatnya Dr. Kuswata Kartawinata sebagai Direktur proyek ini pada bulan Maret 1998, kegiatan CIFOR di Wanariset Bulungan semakin meningkat. Kawasan hutan primer seluas 321,000 hektar yang berada di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (Borneo) ini, ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Indonesia pada tahun 1995 sebagai lokasi untuk melakukan uji coba praktek pengelolaan hutan lestari. The International Tropical Timber (ITTO) dan France CIRAD-Forest merupakan mitra utama dalam kegiatan ini.

Setengah tahun kemudian, sebanyak 30 orang ilmuwan melakukan kegiatan penelitian secara bersarnaan di lokasi ini, dan proyek ini juga memperoleh hibah dari Yayasan MacArthur untuk mendukung kegiatan para lulusan sarjana Indonesia yang bekerja di Bulungan. Saat ini sedang direncanakan untuk mendirikan bangunan semi permanen sebagai stasiun lapangan CIFOR.

Kawasan ini hampir seluruhnya ditutupi oleh hutan primer dan dikenal sangat kaya keanekaragamannya. Sebagian hutan berada dalam kawasan yang dilindungi, tetapi sebuah badan pengusahaan hutan milik pemerintah, INHUTANI II, melaksanakan kegiatan pembalakan menggunakan sistim Tebang pilih sejak tahun 1997. Kawasan hutan ini juga mengalami tekanan dari berbagai perusahaan komersial, termasuk tambang batubara, dan perkebunan kelapa sawit. Penduduk asli setempat yang kebanyakan adalah petani padi suku Punan dan Kenyah, mempraktekkan pola agroforestry secara ekstentif dan memanen berbagai macam hasil hutan non-kayu.

Penelitian multi-disiplin yang dilakukan oleh CIFOR dan lembaga mitranya melakukan penyelidikan tentang dampak dari berbagai kegiatan tersebut terhadap ekologi hutan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pada tahun 1998, CIFOR menerbitkan "Pembalakan Berdampak Minimal untuk Hutan Dataran Rendah dan Dipterocarpaceaae di Indonesia (Reduce Impact Logging for Lowland and Dipterocarps Forest in Indonesia)," yang akan dijadikan pedoman dalarn melakukan percobaan REL di Bulungan. Pedoman tersebut belum selesai, tetapi serangkaian hipotesa kegiatannya akan di uji cobakan dan diperbaiki bilamana perlu tergantung dari hasil kajian. Hipotesa yang diajukan peneliti CIFOR menyatakan bahwa penerapan teknik ini mampu mengurangi kerusakan terhadap tanah dan vegetasi sebanyak 50 persen dibanding praktek pembalakan konvensional, disamping itu, mengurangi biaya pembalakan sedikitnya 15 persen.

Worshop pelatihan tentang teknik inventarisasi hutan dan penilaian topografi diselenggarakan untuk para manajer INHUTANI II, sementara para pekeja lapangan belajar mengenai metoda arah tebang yang digunakan dalam. REL serta konstruksi "skid trail". Inventarisasi dilakukan di kawasan dimana akan dilakukan percobaan awal, pembuatan peta topografi dan pengembangan rencana pembalakan.

Kegiatan penelitian di Bulungan akan meliputi serangkaian kajian tentang keanekaragaman hayati, Kegiatan pada tahun 1998 ini termasuk pembuatan GIS sebagai dasar untuk mengembangkan database secara menyeluruh dan "digital elevation model" seluruh kawasan wanariset Bulungan dalam, rangka menyediakan fasilitas bagi kegiatan penelitian yang sedang berjalan. The Wildlife Conservation Society (WCS) telah melakukan kajian keanekaragaman kawasan sebelum pembalakan dilakukan. Informasi ini digunakan untuk menyusun Bulungan Ethnobotany Handbook, sebuah buku pedoman tentang tumbuhan dan satwa penting di kawasan ini. Sementara itu, ahli biologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi tumbuhan di Bulungan dalam rangka menyiapkan pembangunan herbarium.

Penelitian ilmu sosial CIFOR di Bulungan dibangun dari sejumlah besar data anthtropologi dari kawasan Kalimantan Timur yang dikoleksi selama beberapa dasawarsa oleh lembaga international dan regional termasuk WWF-Indonesia; Universitas Mulawarman di Samarinda, Indonesia; dan Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan (FORDA). Kebanyakan kegiatan dilaksanakan di kawasan sekitar Long Loreh, perkampungan suku Dayak yang berada dekat lokasi percobaan RIL. Survey dilakukan pada tahun 1998 sebagai bagian dari upaya kegiatan multi-cabang CIFOR untuk mengembangkan metoda ilmu sosial agar efektif dalam menilai kesejahteraan masyarakat, tambahan nyata bagi informasi dasar tentang penclucluk Long Loreh dan hubungannya dengan hutan. Pada bulan Oktober, CIFOR sebagian membiayai sebuah workshop yang mencoba untuk mencari kemungkinan jalan keluar untuk meresmikan hak masyarakat lokal terhadap lahan hutan yang mereka huni.

Bidang penelitian lain yang masuk dalam fokus penelitian adalah pola pemanfaatan lahan berpindah clan peran hasil hutan non-kayu (NTFPs) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Sejarah tentang sosial ekonomi kawasan Bulungan yang saat ini seclang ditulis, sebagian berclasarkan data arsip yang berada di Netherland, cliharapkan dapat membantu dalam menentulcan arah penelitian di bidang ini dan lainnya.

HASIL HUTAN NON KAYU


Hasil hutan non-kayu sudah sejak lama masuk dalam komponen penting strategi penghidupan penduduk hutan. Saat ini, upaya untuk mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan berhasil meningkatkan perhatian terhadap pemasaran dan pemungutan hasil hutan non-kayu sebagai suatu perangkat dalam mengembangkan konsep kelestarian. Meskipun demikian, tidak ada jaminan akan menghasilkan keluaran yang positif. Sebuah wadah besar kegiatan penelitian NTFP yang dilakukan oleh CIFOR dengan berbagai mitranya sangat membantu dalam menyediakan berbagai pengalaman bermanfaat mengenai hal-hal yang bisa dilakukan maupun yang tidak.

Seperti dikemukakan oleh beberapa ilmuwan CIFOR dan yang lainnya bahwa sudah banyak penelitian yang dilakukan di bidang NTFP ini. Tetapi banyak pengetahuan yang selama ini dihasilkan hanya terpusat pada satu jenis produk, lokasi dan kelompok pengguna tertentu saja sehingga pemanfaatannya sangat terbatas. Sebaliknya, CIFOR lebih memusatkan kajiannya terhadap dinamika pola pemungutan, pemanfaatan dan perdagangan NTFP secara lebih luas terutama dalam kerangka perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, penemuan ini akan membawa kita pada pemahaman yang lebih baik lagi tentang peran atau potensi NTFP yang sesungguhnya sebagai alat dalam upaya pembangunan dan konservasi di berbagai kondisi situasi dan strategi.

Hal lain yang disoroti adalah sebuah publikasi berjudul "Incomes From the Forest: Methods for the Development and Conservation of Forest Products for Local Communities" atau "Penghasilan dari hutan: Metoda Pengembangan dan Konservasi Hasil-hasil hutan untuk kepentingan Masyarakat Lokal". Buku ini ditulis berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga yang menyumbangkan pengalaman pentingnya menyangkut penggunaan berbagai metoda untuk mengevaluasi pengembangan dan konservasi hasil-hasil hutan dalam konteks yang berbeda. Didalamnya juga dimuat kerangka pemikiran konsepsual yang menggambarkan rumitnya upaya pengembangan dan konservasi NTFP, dengan berbagai isu yang diarahkan pada berbagai tingkatan: rumah tangga, pasar, lembaga lokal dan hutan disekitarnya.

Pada tahun 1998 ini CIFOR juga memulai suatu kegiatan penelitian global yang dirancang untuk memberikan gambaran NTFP secara lebih luas dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan lahan serta strategi penghidupan penduduk lokal. Pada tahap awal, dipelajari studi kasus yang meliputi sejumlah produk hasil hutan di Indonesia dengan tujuan menganalisa proses pengembangan dan pemanfaatan NTFP. Pada akhirnya diharapkan bahwa studi yang sama juga akan dilaksanakan di tiga lokasi penting di kawasan tropis, sehingga dapat diperoleh suatu bahan perbandingan berskala internasional yang mampu menghasilkan kesimpulan dengan dasar yang luas. Perbandingan global ini akan merupakan kegiatan penelitian penting CIFOR di bidang NTFP dalam beberapa tahun mendatang.

Diantara kegiatan yang dilakukan di Indonesia, para peneliti menyelidiki potensi untuk memperbaiki kelangsungan hidup pertanian skala kecil yang memanfaatkan rotan dan kebun buah-buahan di daerah Kalimantan Timur yang saat ini sedang menghadapi perubahan-perubahan peraturan pemerintah. Rotan dahulunya merupakan hasil utama kawasan ini, tetapi produksi lokal mengalami kegagalan sejak diberlakukannya larangan ekspor rotan mentah pada akhir tahun 1980-an dalam rangka melindungi pasokan domestik.

Dr. Manuel R. Perez dan Dr. Brian Belcher dari CIFOR, Lembaga Penelitian Kehutanan Subtropika (Research Institute of Subtropical Forest) dan Pusat Penelitian Pengembangan dan Ekonomi Nasional China (China’s National Economic and Development Research Center) memprakarsai suatu kegiatan penelitian multi-aspek yang dibentuk sebagai bagian dari studi awal dinamika sektor bambu di Cina. Hasil temuannya saat ini sudah diterapkan oleh Departemen Kehutanan Cina (Chinese Ministry of Forestry) dalam melaksanaan kebijakan barunya dan upaya mendukung sektor bambu di Cina.

Studi perbandingan tentang agroforestry damar di Krui, Sumatra, dan pemungutan gaharu (kayu harum yang mengandung resin) di Kalimantan Timur telah selesai dilaksanakan pada tahun 1998. Dalam kajiannya para peneliti menemukan bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh dari hasil-hasil hutan ternyata tidak cukup untuk digunakan sebagai alat untuk menduga apakah masyarakat cenderung untuk melestarikan sumber pendapatan tersebut atau terus menerus memanennya. Disamping itu, perlu dipahami aspek yang menyangkut masa depan pentingnya sumber pendapatan tersebut bagi penghidupan penduduk setempat. Dengan demikian, pendapatan rendah tetapi teratur yang diperoleh dari damar tampaknya dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan pendapatan yang tinggi dari tanaman tahunan seperti kopi. Hal ini disebabkan pendapatan yang diperoleh dari damar dapat menjamin berlangsungnya ketersediaan pangan untuk kehidupan sehari-hari.

Salah satu fokus utama dalam penelitian pemungutan gaharu ini adalah munculnya pertanyaan yang lebih umum tentang bagaimana harga yang tinggi dapat mempengaruhi sistim insentif dalam mengelola NTPF secara lestari. Studi ini mengamati manfaat gaharu secara ekonomi bagi petani peladang berpindah suku Kenyah di tiga desa. Saat ini gaharu masih termasuk dalam urutan hasil hutan bernilai ekonomi tinggi yang diperdagangkan di seluruh dunia. Hasil temuan pada tahun 1998 ini menyebutkan bahwa sejak tahun 1993, harga yang dibayarkan kepada para pemungut di Kalimantan Timur untuk jenis berkualitas tinggi melonjak naik (belum pernah terjadi sebelumnya), dan saat ini merupakan masa pemungutan kayu gaharu yang paling intensif di sepanjang sejarah.

Kajian lainnya yang dilakukan di Indonesia yaitu pemungutan dan perdagangan minyak benzoin (resin pohon yang digunakan terutama untuk kemenyan, minyak wangi dan obat-obatan) yang tersebar luas di Sumatra Utara. Diantara temuan yang dihasilkan sampai saat ini menyatakan bahwa benzoin memegang peranan penting bagi penduduk berpendapatan menengah; dalam artian relatif dan mutlak, kelompok ini memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok paling miskin. Hasil ini juga cocok dengan apa yang ditemukan pada kajian sektor bambu di Cina.

Mitra kerja utama CIFOR di Indonesia adalah Pusat Kehutanan Sosial di Universitas Mulawarman, Samarinda dan proyek FORRESASIA, sebuah program yang dibiayai Uni Eropa yang berkepentingan dengan strategi alternatif bagi pengembangan sumberdaya hutan. Penelitian yang dilakukan di Kalimantan dibangun dengan landasan kuat yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan terkait yang telah dilakukan di kawasan ini oleh lembaga kerja sama baik internasional maupun lokal, termasuk WWF-Indonesia, Forest Research and Development Agency (FORDA) dan Consortium for Community Forestry.

Banyak kegiatan penelitian CIFOR tentang peranan hasil hutan dalam pembangunan juga sedang dikerjakan di Bolivia dan Zimbabwe. Tindak lanjut dari kegiatan ini akan lebih dipusatkan pada faktor-faktor keabsahan (legal), kelembagaan dan pemasaran yang mempengaruhi perdagangan NTFP di kedua negara tersebut, seperti contohnya, peraturan kehutanan yang baru, praktek kepemilikan lahan, struktur pedesaan serta kompetisi antar lembaga yang ada.

Penelitian yang dilakukan di bagian utara Bolivia berhasil menganalisa adanya perubahan dramatis yang terjadi dalam distribusi manfaat pemungutan NTFP setelah runtuhnya pasaran karet Brazilia sekitar tahun 1980-an. Pada peristiwa sebelumnya, seorang raja karet menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol perdagangan melalui sistem "peonage" yaitu membiarkan para pekerja penyadap mempunyai hutang yang sangat besar sehingga sedikitpun tidak dapat mengambil keuntungan penjualan dari hasil hutan. Saat ini, kegiatan pemungutan dan pembuatan kacang Brazil merupakan satu-satunya sumber pendapatan paling penting bagi banyak penduduk di pedesaan. Pabrik-pabrik yang berada di dekat kota melakukan pengawasan terhadap proses pembuatan sedangkan penduduk hutan mendapatkan manfaat finansial dari kegiatan pemungutan kacang serta kerja musiman pengupasan kulit.

Penulis juga mengulas metodologi serta hasil lebih dari 140 penelitian ekonomi deforestasi hutan. Mereka menyatakan bahwa banyak hasil temuan yang sebaiknya dipandang secara skeptis disebabkan buruknya kualitas data serta lemahnya rancangan studi. Akhir-akhir ini model ekonomi kuantitatif deforestasi menjadi sangat populer. Meskipun beberapa kajian di bidang ini menawarkan suatu gagasan pemikiran yang bermanfaat, dilain pihak penulis bahkan kurang sependapat karena pada umumnya pendekatan yang digunakan seperti model regresi nasional dan multi-negara manfaatnya terbatas. Mereka merekomendasikan suatu perubahan kearah kajian pada tingkat daerah dan penduduk/keluarga, yang mampu untuk lebih jauh menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak yang terkait langsung dalam pembukaan dan pemanfaatan hutan.

Kegiatan lainnya yang berupaya untuk merombak atau melawan arus melalui proram penelitian ini adalah menangkal pandangan umum tentang intensifikasi pertanian serta dampaknya terhadap hutan. Paradigma konvensional yang ada saat ini adalah meningkatnya produktifitas pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan sehingga mendukung upaya-upaya konservasinya. Tetapi peneliti CIFOR dalam hal ini banyak menemukan berbagai contoh dimana temuan baru di sektor pertanian bahkan menciptakan kesempatan baru bagi petani untuk membuka lahan lebih cepat dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian ini memberikan kesan bahwa penerapan teknologi padat modal (capital-intensive) yang cocok dengan kondisi kawasan lahan pertanian serta kegiatan produksi untuk keperluan ekspor cenderung akan meningkatkan konversi lahan hutan.

Karena program penyesuaian struktural mempunyai dampak yang besar terhadap hutan dan penduduk didalamnya maka CIFOR berusaha untuk menyelidiki pengaruh dari program-program tersebut serta membuat analisa kelayakan dari strategi alternatif yang ditawarkan. Hanya beberapa tahun yang lalu, penduduk miskin dan praktek perladangan/pertanian berpindah dipandang sebagai penyebab utama yang mendorong proses deforestasi. Tetapi bukti-bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa faktor-faktor komersial dan perubahan makro ekonomi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar.

Studi perbandingan yang dilakukan di Indonesia, Kamerun dan Bolivia menunjukkan bagaimana krisis ekonomi nasional serta kebijakan makroekonomi pemerintahan dapat mempengaruhi pola matapencaharian penduduk dan pemanfaatan hutan setempat. Dengan jalan mengkombinasikan metoda ilmu sosial dan data penginderaan jarak jauh di berbagai kasus, para peneliti mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan utama seperti, apa yang mempengaruhi keputusan untuk bertani pada tingkat keluarga dan bagaimana hubungannya dengan pembukaan hutan.

Di Zimbabwe, CIFOR berperan serta dalam melakukan analisis ekonomi dan pengaruh ekologi pesatnya industri kerajian yang memerikan peluang bagi sumber pendapatan ribuan penduduk pedesaan. Proyek ini mendapatkan bantuan dari CAMPFIRE, sebuah program dari U.S. Agency for International Development yang mempromosikan upaya perlindungan bagi kawasan yang secara biologis terancam. Upaya ini dilakukan dengan menggalang dukungan masyarakat lokal untuk dapat memperoleh keuntungan melalui eko-turisme yang menonjolkan satwa liar dan komersialisasi sumberdaya alam. Industri kerajinan di Zimbabwe dipandang kontroversial karena adanya kekuatiran saat ini berkaitan dengan menysuutnya beberapa jenis pohon asli sebagai bahan baku kayu. Studi yang dilakukan oleh CIFOR dan mitra kerjanya berusaha menyelidiki isu yang berkaitan dengan pasokan kayu lokal yang dikelola secara lestari, termasuk pembaharuan peraturan, insentif ekonomi untuk melakukan perubahan dan perean serta lokal dalam memikirkan solusi yang sifatnya membangun.

Pada tahun 1998 kegiatan lapangan NTFP di bagian barat Brazilian Amazon mulai dikerjakan, dan juga analisa spasial bagi Alto Juara Extractive Reserve. Hasil sementara menunjukkan adanya perubahan pola pemukiman di dalam kawasan reservasi dimana para penyadap karet bergerak dari daerah pedalaman dan hulu sungai ke arah pinggiran sungai yang mudah dicapai. Tampak pula adanya perubahan basis perekonomian daerah. Peran karet mengalami penurunan, sementara beberapa tanaman tahunan, ternak dan pendapatan yang berasal dari sektor ke-tiga (seperti upah pensiun, kesehatan dan sekolah) mampu meningkatkan kontribusi mereka terhadap produksi kawasan.

Do Zona Hutan Basah Kamerun, sebuah program penelitian NTFP yang dilakukan CIFOR berhasil menjelaskan situasi yang tidak terduga dengan menunjukkan bahwa kaum perempuan di kawasan ini ternyata memegang peranan yang sangat kuat dalam produksi dan perdagangan NTFP jika dibandingkan dengan perannya yang sangat terbatas dalam pengambilan keputusan. Meskipun perdagangan NTFP di Kamerun secara resmi diatur oleh peraturan lokal, perempuan ternayata mempunyai kontrol yang kuat terhadap pasar, demikian pula kaitannya dengan pola simpan pinjam yang umumnya digunakan untuk membiayai usaha perdagangan NTFP. Temuan ini mempunyai implikasi bagi perubahan kebijakan sosial ekonomi dan pengelolaan hutan lestari di Kamerun – dan juga kawasan tropis lainnya – karena perdagangan NTFP ini tampaknya menjadi strategi pendapatan bagi kaum perempuan, yang merupakan gambaran kebanyakan penduduk hutan yang miskin di daerah pedesaan Kamerun tetapi umumnya tidak diakui dalam hal kepemilikan lahan dan jaminan akses terhadap sumberdaya hutan.

Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya peran pasar NTFP dalam degradasi hutan, dan digarisbawahi pula sulitnya pencapaian keseimbangan di antara meningktakan penghidupan masyarakat yang tergantung pada hutan dan upaya konservasi. Tampak meningkatnya ketergantungan penduduk pedesaan pada tanaman obat-obatan disebabkan oleh timbulnya krisis ekonomi dan devaluasi CFA franc.

Dampak Pembalakan yang Minimal
(Reduced Impact Logging)


Praktek pembalakan secara konvensional biasanya menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem hutan. Penggunaan alat-alat berat berakibat pada proses pemadatan tanah dan rusaknya vegetasi sementara pemanenan besar-besaran akan menyebabkan erosi, berkurangnya keanekaragaman jenis dan kapasitas perkembang-biakan. Sedangkan kelebihan sampah organik yang dihasilkan mengakibatkan hutan semakin rentan terhadap bahaya kebakaran.

Sejak awal, penilaian dampak lingkungan reduced-impact logging (RIL) atau pembalakan berdampak minimal ini merupakan prioritas penelitian CIFOR. Sebagai bagian dari program keseluruhan Sustainable Forest Management (SFM) atau Pengelolaan Hutan Lestari, maka CIFOR mengadakan jalinan kerjasama kajian RIL dengan Malaysia, Brazil, Indonesia, Kamerun, Bolivia, Tanzania dan Zambia. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dalam mengembangan pedoman dan alat (perangkat lunak) untuk pengelolaan produksi kayu dengan dampak ekologi seminimal mungkin. Oleh karena penerapan metoda RIL ini memerlukan dukungan penuh baik dari pihak pemerintah maupun swasta, maka CIFOR mengadakan kerjasama dengan kedua pihak tersebut dalam melakukan kegiatan ini.

Hasil penelitian CIFOR maupun lainnya menunjukkan bahwa kerusakan dapat dikurangi dengan menerapkan teknik pemanenan yang "site-sensitive" (sesuai kondisi lokasi). Diantara temuan tersebut menunjukkan bahwa metoda RIL berhasil mengurangi dampak terhadap kerusakan tanah sebanyak 25%, dan selanjutnya diperoleh sekitar 50% simpanan dalam bentuk "gudang karbon" yang dihasilkan dari tegakan sisa. Dari beberapa percobaan menggunakan RIL di hutan tropika dataran rendah, terlihat bahwa besarnya kerusakan pada tanah serta permudaan tingkat lanjut berkurang kira-kira 50% dibandingkan dengan pembalakan konvensional.

Temuan yang sangat mendukung ini mendorong Lembaga International Kayu Tropis atau International Tropical Timber Organization (ITTO) untuk mulai menerapkan RIL secara menyeluruh pada tahun 2000. Baru-baru ini Food and Agriculture Organization (FAO) dari United Nations (UN) mempublikasikan Model Praktek Pengelolaan Hutan atau Model Code of Forest Harvesting Practices, dan disusul oleh lembaga lainnya yang juga menerbitkan pedoman yang sama. Pedoman seperti ini biasanya hanya memuat dasar-dasar umum tentang praktek RIL sehingga pengguna harus menterjemahkannya sesuai dengan kondisi lokasi yang bersangkutan (site-specific).

Kajian RIL ini merupakan fokus utama penelitian yang dilakukan di Wanariset Bulungan, Kalimantan Timur, Indonesia. Tujuan utama dari kegiatan tersebut yaitu untuk membantu pengembangan insentif kebijakan dalam mempromosikan penerapan RIL oleh para pengusaha kayu.

Di banyak negara industri, teknik RIL sudah digunakan dalam kegiatan pemanenan kayu selama beberapa dasawarsa ini. Meskipun demikian, praktek ini belum banyak diterapkan di hutan tropika. Dalam makalahnya yang berjudul "Mengapa negara tropis masih menerapkan praktek pembalakan yang kurang baik?" ("Why Poor Logging Practices Persist in the Tropic?"), Dr. Jack Putz dan Dennis Dykstra dari CIFOR menyoroti beberapa alasan umum yang diberikan oleh para penebang komersial jika ditanyakan tentang penyebab tidak diterapkannya praktek pemanenan yang telah diperbaiki tersebut. Di dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk menangkal persepsi yang dilontarkan itu dan berusaha memaparkan bukti-bukti manfaat penerapan RIL.

Sisi ekonomi penerapan RIL juga menjadi sorotan utama penelitian CIFOR yang berlangsung sejak tahun 1996 di dua lokasi di Brazil: Tapajos National Forest, dekat Dantarem, dan Curua Una, sebuah hutan percobaan di hulu sungai Santarem. Dalam sebuah kegiatan penelitiannya yang baru di Brazil, ilmuwan CIFOR yang berada di Belem bekerjasama dengan EMBRAPA menyelenggarakan sebuah workshop yang diadakan pada bulan Desember untuk mendiskusikan pedoman percobaan lapangan RIL di kawasan hutan produksi di bagian timur Amazon. Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek kerjasama dalam rangka mengembangkan rencana pengelolaan yang berkelanjutan di kawasan tersebut.

Sementara itu, di Tanzania dan Zambia, CIFOR ikut berperan serta dalam dua buah koordinasi kegiatan penelitian lapangan RIL untuk program jangka panjang yang dibiayai oleh European Union (EU), dengan tujuan untuk mencapai pengelolaan Hutan-Kayu Miombo secara lestari di kawasan timur, tengah dan selatan Africa. Hutan kayu ini secara ekologis sangat penting dan saat ini kondisi keberadaannya terancam.

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI


Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.

Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.

Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.

Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.

Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.

Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.

Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.

Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.

Terakhir, di Afrika, peneliti CIFOR bersama dengan mitra kerjanya mempelajari dampak fragmentasi terhadap keanekaragaman genetik. Kajian ini dilakukan di sebuah kawasan yang terdiri dari 22 fragment riverine sebuah bentang alam yang dibuka untuk areal utama peternakan. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah fragmentasi ini berdampak merugikan bagi mekanisme kerja serangga penyerbuk serta akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap keanekaragaman genetik empat jenis pohon penting.